Publik Bima sudah lama menguatirkannya soal gejala kemerosotan karakter masyarakat. Dinamika sosial belakangan ini memang menyebabkan semua pihak masghul. Serangkaian kasus kekerasan yang disertai korban jiwa dan kerusakan fasilitas umum telah mengotori dinding langit Mbojo, terutama pada wilayah Kabupaten Bima. Emosi yang mudah meletup, terjebak provokasi isu tertentu, dan kelatahan terhadap fenomena baru yang merusak adalah ‘menu membosankan’.
Tidak hanya itu. Pola hubungan kaum muda juga cenderung bergeser dari nilai kekayaan filosofis Mbojo. Ada yang menguatirkan, jika tidak dipikirkan dan diantisipasi sejak dini, kita sedang dalam perjalanan menuju ‘karakter barbar’. Di sekitar kita, begitu mudah manusia dibakar hidup-hidup, gampangnya fasilitas pemerintahan diobrak-abrik karena perbedaan pilihan mengatasnamakan massa, menipisnya keimanan yang diekspresikan dengan mengorupsi uang rakyat. Beras untuk rakyat miskin seringkali diselewengkan, bahkan kasus asusila semakin menambah deretan catatan hitam. Dengan kata lain, panorama tindak tidak produktif tergelar setiap saat dan semakin menegaskan degradasi karakter kita sebagai Dou Mbojo.
Nah, tilikan plus kegusaran akademisi IAIN Mataram, Abdul Wahid dan Hamid Syukri, soal tampilan kondisi daerah Bima saat Dialog Budaya di Museum Asi Mbojo, Jumat (16/11) lalu, bisa dimaklumi. Inti struktur sel pada tubuh masyarakat Bima yang menjadikannya sebagai ciri khas sejak dulu telah tergerogoti oleh perilaku tidak populer. Wahid menyebutnya asam deoksiribonukleat lebih dikenal dengan deoxyribonucleic acid (DNA), yang terkandung di dalam sel masyarkat Bima sudah terkoyak.
Dou Mbojo dikenali karena karakter kuat memegang prinsip, teguh dan memiliki cita-cita tinggi untuk menggapai kesuksesan, kini sebagiannya tersapu gelombang perubahan zaman. Jika ada gagasan mendesak segera memformulasikan kembali identitas jatidiri itu, selayaknya diamini dan didukung. Itu adalah tanggung jawab bersama.
Saatnya, kita merefleksi kembali filosofi Maja Labo Daho untuk menjawab berbagai tantangan nilai-nilai baru yang memasuki ruang privat. Mengapa bisa terdegradasi sedemikian parah, faktor apa yang dominan memenggaruhinya, dan apa solusi mengatasinya. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan itu hendaknya segera ditemukan agar kapal sejarah Mbojo tidak tenggelam di tengah samudera biru dan panggung sejarah.
Selain itu, agar generasi ke depan berkarakter kuat dan mampu mengarungi masa depannya sendiri. Nah, saatnya kita bangkit! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.