Kota Bima, Bimakini.com.- Aksi pengeboman, penambangan, dan pengambilan ikan hias dan konsumsi oleh nelayan menjadi beberapa penyebab kerusakan terumbu karang. Kondisi itu mengemuka dalam acara sosialisasi pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pemuda Pesisir (FKPP) Bima di hotel Lila Graha Kota Bima, Sabtu (27/4) lalu.
Ketua FKPP Bima, Fachrunnas, menyebutkan, secara umum Kabupaten Bima memiliki banyak potensi kelautan, karena juga didukung ratusan pulau kecil. Salahsatu potensi itu adalah terumbu karang. Potensi tersebut diharapkan bisa kelola dan dimanfaatkan secara tepat sehingga bisa meningkatkan ekonomi pesisir.
“Salahsatu tujuan dari kegiatan ini, kita berharap ada output positif dan kesepakatan bersama dalam mengelola potensi dengan tetap mengacu tetap consern terhadap menjaga keseimbangan lingkungan,” katanya di sela pembukaan kegiatan tersebut.
Dikatakannya, salahsatu hal yang timbul dalam pengeloaan potensi kelautan khususnya terumbu karang di Bima selama ini, pemanfaatan belum diimbangi upaya transpaltasi. Hal tersebut sejatinya menjadi atensi setiap pihak terkait atau pemangku kepentingan (stakeholder). Secara umum, dalam regulasi khusus tidak melarang pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Hanya saja, perlu memerhatikan beberapa aspek.
“Sehingga saat kegiatan ini kami juga berpikir perlu membuat nota kesepahaman dan kesepakatan menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang. Hal ini bisa menjadi bentuk dari kearifan lokal,” ungkap mantan Quilty Control BUMN ini.
Diungkapkannya, selain meningkatkan masyarakat pesisir dan pihak terkait tentang pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Hasil lain, terciptanya kawasan percontohan pemanfataan dan pelestarian terumbu karang. Perubahan iklim menimbulkan persoalan yang kompleks, tidak hanya terhadap mutu hidup. Namun, juga beberapa sektor, termasuk persoalan lingkungan dan masalah kelautan. Salahsatunya terumbu karang masih adanya aksi ektrim dalam merajut kelangsungan hidup. Imbas dari dampak pemanasan global atau perubahan iklim itu cukup banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan dan berpotensi luas terhadap sektor lain. “Hal tersebut setidaknya memberikan isyarat perlunya peran banyak pihak dalam menimilisasi dampak itu,” katanya.
Direktur Eksekutif AKKI Indonesia, Indra Wijaya, menyebutkan, seperti yang dimuat dalam jurnal internasional, ada tujuh penyebab kerusakan terumbu karang, yakni penangkapan ikan dengan cara pemboman, pencemaran laut, penambangan karang untuk kebutuhan fondasi rumah, penangakapan ikan hias dan konsumsi, kegiatan pariwisata, serta kegiatan penelitian.
Bahkan, pertimbangan kerusakan itu, tahun 1997 negara Fillipina menutup perdagangan karang kemudian disusul India. Namun, belakangan diketahui jumlah kerusakan dan malah bertambah. “Dalam jurnal internasional itu disebutkan penyebab utama kerusakan karena pemboman dalam aktivitas penangkapan ikan,” ujar alumnus IPB ini.
Diisyaratkannya, secara umum, AKKI Indonesia siap berkolaborasi mengikuti alur dalam pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Peran asosiasi sendiri dalam pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang sudah diatur dalam pasal 84-86 SK Menhuttentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. “Kita mengingikan kalau tidak boleh itu seperti apa, biar kolaborasinya seperti apa. Jangan sampai seperti yang dikatakan Ketua Forum, jangan sampai pemanfaatannya lebih besar daripada (karang) yang tumbuh,” katanya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bima, Ir. Hj. Nurma, mengatakan, pada prinsipnya pemerintah menutup diri dalam pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Hanya saja, lebih hati-hati dalam menerbitkan izin. Apalagi, belum lama ini Pemerintah Kabupaten Bima meraih penghargaan terbaik dalam memantau terumbu karang.
Namun, pemerintah juga tidak akan tertutup sepanjang mengikuti kaidah yang ada. “Salahsatunya yang harus dilengkapi dari hasil transpaltasi dan hasil alam hasil petik harus ada surat keterangan asal. Itu untuk memermudah mengindentifikasi,” jelasnya.
Disebutkannya, di Kabupaten Bima terdiri dari 155 pulau kecil, 74 diantaranya sudah memiliki nama, sedangkan tiga di antaranya memiliki populasi penduduk yang padat. Ke depan, DKP akan akan berkolaborasi dan memelajari ketentuan atau peraturan berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang. Karena sudah ada regulasi baru yang mestinya menjadi rujukan.
“Aturan-aturan baru kita pelajari sama termasuk 54 jenis karang. Berapa yang transpaltasi dan berapa hasil alam, sehingga gampang mengeluarkan rekomendasi izin,” katanya.
Kepala Kantor Seksi Konservasi Wilayah III Bima-Dompu yang diwakili staf setempat, Eny Kurniawati, menjelaskan, coral termasuk dalam daftar Appendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah, namun dapat menjadi terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan.
Dijelaskannya, rekomendasi didasarkan pada data dan informasi ilmiah hasil inventarisasi, pemantauan populasi, pelaksana invent dan monitoring; otoritas keilmuan, balai, perguruan tinggi atau organisasi non pemerintah. Apabila data dan informasi tidak tersedia, maka data dapat diperoleh atas dasar: Kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan, Informasi ilmiah dan teknis lain tentang populasi dan habitat atau jenis yang ditetapkan, realisasi pengambilan dan penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari kuota tahun-tahun sebelumnya, kearifan tradisional.
Selain AKKI Indonesia, kegiatan sosilisasi tersebut juga dihadiri perwakilan Taman Nasional Comodo (TNC), sejumlah camat dan Kepala Desa Pesisir dan 20 nelayan, diantaranya Camat Wera, Sape, Lambu, Langgudu, Kepala Desa Bajo Pulau dan Desa Bajo Kecamatan Soromandi. (BE.13)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.