Pemilukada Kota Bima telah usai. Cumpu ra mpa’a, bahasa bebas dalam kosakota lokal kita. Ketika permainan (kompetisi) sudah buyar dan diputuskan oleh wasit yang berkompeten, maka pilihan tepat adalah menerimanya sebagai fakta. Itulah permainan selalu menghadirkan pihak yang menang dan kalah.
Hal yang harus diingat adalah kemenangan berarti tabungan kepercayaan rakyat membuncah dan menunggu pembuktian. Kekalahan berarti upaya pendekatan dan perjuangan selama ini belum menemukan momentumnya bersama tingkat ekspektasi publik dalam warna dominan. Jadi, kedewasaan sikap menerima kondisi sangat diharapkan.
Dalam konteks itu, ajakan Wakil Wali Kota Bima, H. Abdurrahman, saat pembukaan MTO Kota Bima sangat tepat. Ajakan kembali melangkah bersama melanjutkan pembangunan, berlapang dada (kalembo ade), dan menunjukkan kedewasaan sikap. Selain itu, melupakan segala perselisihan dan mulai membangun kebersamaan.
Saat putusan Mahkamah Konstitusi sudah diketahui, maka tidak boleh lagi ada kubu-kubuan. Semua komponen kembali menyatu dalam kemesraan kebersamaan, dalam satu tekad membangun daerah mungil ini menuju harapan. Mengawetkan perkubuan akan kontraproduktif bagi pembangunan. Ini mesti menjadi atensi pihak yang menang dan yang kalah. Mari melihat kompetisi ini dalam semangat demokrasi. Perbedaan memang dihalalkan, namun muaranya tetap menjaga konsistensi pembangunan pada lapangan pengabdian masing-masing.
Faktanya, kerap muncul aroma kekentalan faksi pasca-Pemilukada yang menggiring suasana birokrasi kurang harmonis. Bahkan, mereka yang diidentifikasi tidak mendukung kerap “ditransmigrasikan” lokasi pengabdiannya ke wilayah pelosok. (*)