HAMPIR sebulan terakhir, rencana pembangunan Masjid Terapung di kawasan Ama Hami Kota Bima dalam radar sorotan sebagian legislator dan elemen masyarakat. Sejumlah rasionalisasi disampaikan untuk membangun basis argumentasi masing-masing. Maket fasilitas yang didisain oleh tim Universitas Kristen Petra Surabaya itu memang terlihat anggun. Menjorok masuk ke lautan, dalam disain modern dan khas Mbojo. Masuk dalam Grand Design Kota Tepian Air dalam bandrol nilai Rp12 miliar dari Rp20 miliar yang diajukan. Bisa jadi bakal menjadi lokasi yang menarik magnet kunjungan masyarakat. Layaknya Masjid Amirul Mukminin di pantai Losari Makassar.
Radar sorotan legislator dan publik itu setidaknya terangkum dalam tiga sisi. Pertama, soal basis administrasinya. Dalam catatan legislatif, awal pengajuan untuk Rumah Adat, namun yang belakangan muncul adalah Masjid Terapung. Soal nomenklatur seperti ini memang bisa sensitif dari sudut pandang lembaga pemeriksa. Kedua, sebagaimana suara sejumlah legislator, dilihat dari fungsi, lokasinya dianggap kurang tepat. Ada sejumlah mushala dan langgar yang bisa digunakan untuk mewadahi ibadah masyarakat. Ketiga, ini yang tampak kelihatan “seksi”, yakni dibandingkan dengan telantarnya pembangunan Masjid Agung Al-Muwahidin.
Ya, masjid yang sejatinya ikon Kota Bima itu sudah belasan tahun mangkrak. Butuh banyak dana dan lompatan kebijakan untuk menuntaskannya. Bahasa lugas sorotan itu adalah ketimbang membangun fasilitas baru beranggaran belasan miliar rupiah, lebih baik menuntaskan agenda yang masih terkatung-katung. Secara administratif, rapat paripurna DPRD Kota Bima telah mengesahkan atau menyetujui pembangunan itu, pekan lalu, meskipun ada perbedaan pandangan di dalamnya. Itu telah menjadi keputusan legislatif! Keputusan wakil rakyat kita.
Lalu bagaimana? Proses dan seluruh dinamika yang mengiringinya tetap harus diberi “catatan kaki” sebagai bahan refleksi bersama. Secara administratif, perubahan nomenklatur di tengah perjalanan berkas, selayaknya transparan dan masyarakat mendapatkan cukup penjelasan memadai. Tidak hanya dari eksekutif ke legislatif saja. Tentu saja agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bukankah demikian? Dalam gerak suatu kota yang tengah bergeliat, sisi estetika dan kemoderenan selayaknya mendapatkan tempat. Semua setuju pada titik ini. Namun, eksekutif harus lebih detail membahasakan alasannya.
Soal kondisi Masjid Agung Al-Muwahidin yang hingga kini ‘tergolek lemah di jantung Kota Bima’ memang ironis. Suatu fakta ketidakberdayaan yang tergelar lama dan tidak terbantahkan. Entah sampai kapan mewujud nyata. Jika ada dana segar belasan miliar, pasti ada pergerakan perubahan bentuk menuju kesempurnaannya. Tetapi, lintasan Hijriyah terus berlalu tanpa polesan berarti.
Apa yang kita diskusikan adalah soal bagaimana mengenalkan program yang lebih “membumi” dan keharusan transparansi. Selain itu, soal skala prioritas di tengah cekaknya dana daerah. Semoga heboh Masjid Terapung ini menjadi catatan bagi proses lain ke depan. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.