LAGI-LAGI kita dikejutkan aksi kekerasan yang kembali muncul di Kecamatan Woha Kabupaten Bima Kamis (15/12) malam lalu. Pelajar asal Desa Keli, Wahyudin, diterjang anak panah di bagian paha kirinya. Ironisnya terjadi saat gelaran Musyabaqah Tilawatil Quran (MTQ) desa setempat. Dalam siatuasi ramai, insiden itu tentu saja menghebohkan. Kasus seperti ini seringkali muncul di wilayah Woha dan sekitarnya. Semakin meneguhkan potensi kerawanan situasi jika razia dan penyisiran tidak segera dilakukan.
Ada dua sisi kritis yang memerlukan perhatian bersama dari kasus terjangan panah Keli ini. Pertama, remaja kini semakin akrab dengan media kekerasan. Membawa parang, golok, dan senjata tajam lainnya saat bepergian. Jika menemukan momentum dengan orang yang berkonflik sebelumnya, maka eksekusi dilakukan. Hal yang menguatirkan lagi adalah kepemilikan senjata api rakitan yang saat konflik antarkelompok warga Desa Dadibou dan Desa Risa berdesing justru ketika aparat menghalau. Beragam jenis senjata inilah yang harus segera dibersihkan, karena bakal “mengawetkan Zona Merah” yang membandrol daerah.
Sisi kedua, munculnya kejadian saat MTQ patut disesalkan. Remaja sudah kehilangan akal sehat dan ketika menemukan momentum terhadap sasarannya, eksekusi sigap dilakukan. Apakah berada di atas kendaraan, sekolah, MTQ, atau keramaian lainnya. Padahal, MTQ adalah momentum pembumian nilai religiusitas dan kebaikan untuk pembangunan peradaban. Merusak momentum keagamaan, apapun motif meleastnya anak panah itu, merupakan sinyal kegagalan dan ketidakmengertian generasi remaja terhadap kesakralan nilai agama.
Kenekatan mereka ini merupakan bentuk teror berbahaya karena menyelesaikan persoalan secara membabi-buta. Aparat Kepolisian, pemerintah, dan masyarakat kini ditantang untuk segera mengatasinya karena bisa berimplikasi luas. Bayangkan saja jika ada korbannya. Ketika mengenali asal tempat tinggal terduga pelaku saja, maka reaksi balik meluas. Meski hanya kesalahpahaman, kasus Dadibou-Risa edisi terbaru dua pekan lalu adalah contohnya.
Terjangan anak panah pada paha Wahyudin itu merupakan contoh. Potensi terjangan lain pada paha, punggung, dan jidat kita semua sangat potensial selama penyisiran (sweeping) tidak dilakukan. Mari menjaga keamanan dan ketertiban, diawali dari keluarga masing-masing. Para orang tua dituntut lebih ketat mengawasi pergaulan dan pergerakan anak. Terjangan panah Keli itu suguhan tragis dan memalukan! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.