PARA pemuda Desa Dadibou dan Desa Risa Kecamatan Woha Kabupaten Bima terlibat dalam kesepakatan damai (islah), Sabtu (18/03) lalu. Disaksikan Kapolres, Dandim, dan ulama, mereka berikrar tidak akan terlibat lagi dalam pertikaian dan menyerahkannya pada proses hukum jika muncul masalah. Sambil memegang Al-Quran, mereka mengucapkannya penuh semangat. Ada ketegasan intonasi dan keharuan menyergap. Ada airmata mengiringi dan tumpah dari sudut mata sebagian dari mereka.
Mereka pun bersalaman dan larut dalam pelukan hangat penuh persaudaran. Saling memaafkan terucap. Tidak hanya sampai di situ, mereka lalu konvoi mengelilingi desa. Seolah mengabarkan pada dunia Mbojo bahwa segala ganjalan itu telah sirna seiring luruhnya hujan yang menerpa wilayah Mbojo pada Sabtu siang. Kaum wanita pun menyambut penuh antusias. Mereka melempar beras kuning sebagai lambang sukacita.
Jika disimak gambaran suasana islah itu menyentuh. Semoga awet dan menjadi benih kepekatan persahabatan baru. Ya, momentum islah Dadibou-Risa ini menarik dicermati dalam berbagai arah sudut tilikan. Ada sisi luka sosial yang mendesak dijahit. Ada sisi religius yang mendesak diperkuat. Ada disharmoni yang menoreh luka yang mesti dirajut kuat menjadi harmoni. Kita berharap semoga saja rangkaian konflik yang mendera kelompok warga dua wilayah selama ini memang sudah berada pada titik jenuh. Pada level titik kulminasi. Suatu kondisi puncak kesadaran, merupakan titik balik untuk mengubah pilihan sikap dan perilaku. Itulah makna dan pesan hijrah sesungguhnya. Apakah suasana kebatinan sosial ini yang ditangkap oleh Kapolres Bima, AKBP M Eka Fathurrahman, sehingga meyakini kali ini merupakan edisi akhir islah? Semoga demikian.
Harus diingatkan, ikrar tidak lagi berkonflik itu merupakan janji diri yang telah diumumkan secara luas dan mengandung dimensi religius yang berbahaya bila dilanggar. Seperti janji mereka, bakal menerima laknat jika melanggar sumpah. Kita percaya saudara-saudara di Dadibou-Risa dapat mewujudkan ikrar itu dalam keseharian sikap dan perilaku. Peristiwa kelabu yang telah lalu harus segera dikubur dalam di perbatasan desa, lalu bersama menatap ke depan dalam senyum penuh persahabatan. Islah ini sejatinya diikuti lompatan tindakan lainnya. Warga yang masih memegang senjata api rakitan, panah, dan senjata tajam lainnya sebaiknya pula secara sukarela menyerahkan kepada aparat. Karena keberadaan alat berbahaya itu yang menjadi dimensi lain dari ‘meningkatnya kepercayaan diri’ masyarakat maju ke medan konflik.
Memang sangat disayangkan energi yang selama ini ada dan potensial terkuras untuk konflik yang tiada akhir. Persaudaraan terkoyak. Harmoni ternoda. Suatu gambaran kondisi buruk dalam kamus seorang Muslim. Akhirnya, seperti harapan masyarakat Mbojo dan keyakinan Kapolres, semoga islah ini memuncaki segala konflik yang selama ini menyita emosi masyarakat Dadibou-Risa. Lupakan hiruk-pikuk kemarin, tatap hari ini penuh harapan untuk menuju esok yang lebih baik. Islah total ya…? (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.