MATARAM, Bimakini.- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no 7 tahun 2024 tentang Tata Kelola Kepiting, Lobster dan Rajungan dinilai belum memberi keadilan untuk daerah. Tidak hanya, itu Permen KP ini masih cukup banyak masalah yang belum terlerai dengan baik.
Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Muslim mengatakan. Kebijakan itu cenderung untuk menggelembungkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara daerah tidak mendapatkan manfaat yang setara.
“Kita di daerah disuruh buat spesimen tanda tangan, kop dinas, stempel dll oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Termasuk kabupaten untuk penerbitan SKA tapi setelah kita pikir-pikir ada potensi dampak secara hukumnya,” ujarnya.
Selain itu kata Muslim daerah tidak mendapatkan alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perikanan. Khususnya Provinsi.
“Makanya sampai hari ini kami belum merespon permintaan KKP tersebut,” ujarnya seperti ditulis di WAG DPD HNSI NTB.
Masalah lain yang sebenarnya harus clear kata Muslim adalah soal quota BBL. Untuk NTB misalnya, quota yang diberikan sangat kecil. Sekitar 6.072.238 benih/tahun. “Dari data penangkapan BBL kami pada saat kran BBL dibuka tahun 2020, sekitar 4.367.414 benih yang dilaporkan selama 3 bulan penangkapan,” ungkapnya.
Penjualan BBL dari nelayan ke BLU Budidaya Pusat juga menimbulkan masalah lain. Kata mantan Kabid Ekonomi Bappeda NTB ini kebijakan tersebut akan membuat rantai panjang penjualan. Tidak menutup kemungkinan akan muncul pihak perantara, dan ini tentu akan membuat harga jual yang diterima oleh nelayan menjadi rendah.
Yang tidak kalah penting adalah dalam hal operasional pengawasan.
“Siapa yang melakukan pengawasan penangkapan BBL, dimana lokasi penangkapan masih di bawah 12 mil tetapi provinsi tidak mendapatkan pembagian hasil dari penarikan PNBP oleh BLU Pusat,” ujarnya.
Pengawasan melekat di provinsi sesuai Permen KP 30 thn 2021 tentang pengawasan ruang laut. Padahal lokasi penangkapan benur berada dalam yuridiksi kewenangan provinsi sebagaimana amanat pasal 27 UU 23 Thn 2014 tentang pemerintahan daerah. Dipihak nelayan sendiri akan muncul masalah ketika urusan perizin menjadi rumit.
“Penetapan nelayan penangkap BBL dengan NIB dirasa sudah cukup untuk nelayan kecil. Penetapan nelayan melalui aplikasi siloker oleh provinsi membuat kekhawatiran di daerah dikarenakan BBL ini sangat sensitif,” tandasnya. (uba)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.