(Muhammad Fikrillah)
Umat Islam kini berada pada fase terakhir dari guliran rahmat Ramadhan. Fase pertama yang menempa, sekaligus menguji kesungguhan seorang hamba yang berpuasa. Ya, kita segera mengakhiri lintasan rahmat, menuju magfirah (ampunan).
Sejauhmana puasa kita, kita sendirilah yang paling layak menjawabnya dan Allah yang menilainya. Kita harapkan persembahan puasa sepuluh hari pertama bukan sekadar berlapar-lapar saja, tetapi lebih dari menjadi pembuka start baru menuju gairah membara meniti lintasan berikutnya.
Selama fase pertama itu, muncul sejumlah kejadian di sekitar lingkungan kita. Demikian juga pada daerah lain, seperti yang tersaji dalam pemberitaan media massa. Apa yang terjadi adalah tindakan atau perilaku yang sesungguhnya tidak berkorelasi dengan upaya peningkatan kualitas keimanan. Sebaliknya, justru meruntuhkannya. Puasa pun dalam ancaman tidak sampai pada khittah awalnya, yakni menjadi media menuju level orang yang bertakwa (mutaqin). Tidak memenuhi fungsinya. Inilah apa yang disebut orang sebagai puasa disfungsional.
Tuntunan puasa adalah perbuatan menahan diri dari semua pembatal puasa disertai dengan niat (ibadah), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, itu berdasarlkan tafsir Al-Qurthubi pada ayat 183 dari surah Al-Baqarah. Imam An-Nawawi berkata-memberikan definisi puasa-dalam Al-Majmu (6/247), “Penahanan yang bersifat khusus, dari sesuatu yang tertentu, yang dikerjakan pada waktu tertentu, dan dilakukan oleh orang tertentu.”
Tentu saja, puasa disfungsional kita hindari. Tantangan terbesar puasa adalah bagaimana mengelola hawa nafsu, agar tidak terjerumus pada level hewaniah. Menyelaraskan tindakan dan perilaku sesuai tuntunan Islam agar meraih manisnya rasa keimanan. Nah, bagaimana status puasa Anda?
(Pernah dimuat di http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/11/puasa-disfungsional/
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.