Kita dikejutkan lagi oleh kasus perkelahian antarsiswa saat kegiatan belajar-mengajar (KBM) dan di halaman sekolah. Ya, peristiwa itu terjadi di SMAN 1 Belo. Siswa setempat dan mantan siswa saling membacok menggunakan senjata tajam (Sajam). Duel yang melukai keduanya hingga harus dirawat. Heroisme pelajar yang sesat nalar dan kehilangan akal sehatnya. Kasus seperti itu di Belo bukan lalipertama. Tetapi, bermunculan dan mengagetkan karena ada darah terkucur.
Paling tidak ada sejumlah hal dari dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cidera atau bahkan tewas. Terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, ini yang dikuatirkan para pendidik yaitu berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.
Kehadiran Sajam di sekolah tentu saja menguatirkan, karena tidak saja digunakan untuk diarahkan pada sesama pelajar. Tetapi juga terkadang guru. Kondisi ini memang kadangkala muncul, menunjukkan bahwa karakter sebagian pelajar sudah berbeda dengan pelajar era 90-an ke bawah. Ada apa dengan pelajar kita hingga terjebak pikiran pendek dalam penyelesaian masalah.
Jangan sampai ada pelajar yang punya persepsin keliru bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah, karenanya memilih melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat hal ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Kita mengharapkan SMAN 1 Belo lebih selektif lagi terhadap perkembangan dan perilaku siswa. Rutin mengadakan razia terhadap tas dan telepon seluler pelajar. Kasus saling bacok itu menunjukkan kebobolan areal pendidikan dari aroma kekerasan. Suatu lingkungan widyatamandala yang seharusnya bebas dari perbuatan tidak mendidik.
Mari berintrospeksi dari kasus ini. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.