Kota Bima, Bimakini.- Pembangunan masjid terapung mendapat sorotan dari Lomisi III DPRD Kota Bima, masyarakat. dan elemen mahasiswa. Bagaimana Dinas Pekerjaan Umum dan Pertambangan mereaksinya?
Kepala Dinas PU dan Pertambangan melalui Kasi Tata- Bangunan dan Permukiman Bidang Cipta Karya, Ririn Kurniawati, ST, Rabu (07/12/2016) mengaku ide pembangunan Masjid Terapung dimulai
bersamaan saat sedang menata Kota Tepian Air, kerja sama dengan Univertsitas Kristen Petra Surabaya, sesuai rencana pembangunan kawasan Niu sampai Ama Hami. Pembangunan masjid itu masuk dalam rencana pengembangan ruang terbuka hijau kawasan Ama Hami. Hal itu karena kalau dilihat saat sore sampai Isya dipenuhi pengunjung.
“Kita melihat orang-orang hanya duduk saja, walau sudah memasuki shalat Magrib duduk saja, akhirnya muncul ide, sekalian penataan Ama Hami,” kata Ririn di dinas setempat.
Dibeberkannya, nanti tidak saja Masjid Terapung yang dibangun, tetapi areal sekitar akan ditata rencana detail bangunannya.
Bagaimana izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan karena pembangunan dilakukan di atas laut yang menjadi sorotan legislatif? Menurut Ririn, sebenarnya tidak perlu, membangun masjid itu masih kewenangan
Kota Bima, aturannya untuk meminta izin dari kementerian kelautan itu bagi pembangunan atau reklamasi lewat dari 4 mil dari sepadan pantai. “Masjid Terpaung hanya beberapa mil dari bibir pantai,” katanya.
Dikatakannya, rencana ruang tatawilayah sudah ada Perda-nya, detail tata-ruang Kecamatan Rasanae Barat sudah dapat rekomendasi dari Gubernur NTB. Dalam waktu satu hingga dua hari mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penaataan Ruang Nasional. Kemudian tata-bangunan dan lingkungan sudah disosialisasikan di aula kantor Pemkot Bima dan Kelurahan Dara. Saat ini sedang disusun juga RTDL-nya.
Mengenai nomenklatur Rumah Adat, kata Ririn, memang seperti itu saat pertamakali. Awalnya RAB belum tetap anggaran Rp20 miliar, namun masuk ke Komisi III ada hal pertanyaan muncul dari anggota DPRD, kemudian diperbaiki. Akhirnya nomenklatur Rumah Adat dalam rancangannya sudah diganti menjadi pembangunan masjid.
“Kita cari yang pas, memang hanya aplikasinya saja, belum ada kode rekeningnya dan sekarang sudah berubah sekarang, bukan lagi Rumah Adat tetapi masjid,” bebernya.
Apa tidak bermasalah karena masuk belanja modal? Katanhya, tidak ada masalah dan sudah sesuai aturan. Contohnya Provinsi NTB membangun Islamic Center tidak dipermasalahkan.
Mengapa alokasinya belanja modal? Katanya, rencananya digunakan belanja modal karena belum ada yayasannya. “Kita bangun dulu jadi aset kota, lalu bentuk yayasan nanti dihibahkan dalam bentuk barang pada yayasan dan itu diperbolehkan,” ujarnya.
Luas bangunan lebih dari 10×10 meter dan dapat menampung 100 jamaah, bangunannya bentuk terbuka tidak ada pintu ada dinding tetapi banyak lubang angin dan ada lima menara. (BK32)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.