GERBONG mutasi dan rotasi jabatan yang dilakukan Bupati Dompu, H. Bambang, pekan lalu, menyisakan cerita. Selain prosesi tanpa kursi, satu di antara 206 pejabat memilih mengundurkan diri sehari kemudian. Fakta mengejutkan, sekaligus menggelitik publik.
Dia adalah Gaziamansyuri, mantan calon Wakil Bupati Dompu yang dulu berpasangan dengan Syaifurrahman Salman. Kekalahan telak membawa biduk birokrasi Gaziamansyuri oleng. Selama ini hanya “diparkir” menjadi staf biasa di Sekretariat DPRD Dompu, lalu diorbitkan menjadi Kepala Bidang pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana.
Dari sisi psikologis, “hukuman birokratis” atas percobaannya berkompetisi politik itu terasa berat. Gaziamansyuri adalah mantan Kepala Dinas Dikpora. Level jabatan yang “terjun bebas” itu hanya bisa diterima oleh mereka yang berketahanan mental tangguh dan berjiwa besar. Ditilik dari sudut sempit ini, pilihan Gaziamansyuri bisa dipahami. Kita pun, bisa jadi, idem ditto dengannya.
Lepas dari itu, ada sisi menarik untuk bahan refleksi kolektif. Sudah jamak terjadi dalam dunia politik, mantan kompetitor tidak mendapat tempat dalam skuad. Dendam politik telah memasuki relung kesadaran para pemimpin, sehingga terkadang tindakannya dianggap berlebihan. Padahal, masih banyak potensi pada diri pejabat tersebut yang masih bisa dieksplorasi untuk kepentingan daerah. Memang tidak semuanya, karena ada juga yang memberi tempat berperan, atau masih eselon dua, meski pada tempat yang kurang strategis.
Pasangan terpilih seringkali diingatkan agar memberi garis tegas batas antara masa lalu, kini, dan mendatang. Meninggalkan cerita perjalanan masa lalu dan menatap masa depan dengan semangat kebersamaan. Tetapi, logika publik kerapkali tidak berseiringan dengan logika yang dibangun politisi dan pendukungnya. Selalu ada ketegasan warna sikap, bahkan hingga hari ini “ini adalah kubu kita, mereka di seberang sana adalah kubu lawan”.
Meski demikian, otak-atik posisi pejabat adalah hak prerogatif Bupati setelah melalui mekanisme Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan. Semoga saja pilihan menempatkan Gaziamansyuri selama ini atas dasar bahwa kuota sudah habis, karena banyak potensi selevel bahkan lebih yang mesti diakomodir. Butuh sosok baru untuk memenuhi visi dan misi. Mungkin ceritanya akan berbeda jika cara menyingkirkannya dari gelanggang birokrasi sedikit diperhalus dengan status “Staf Ahli” atau “Staf Khusus”. Toh, sama saja dimatikan peranannya, seperti yang dipraktikkan pada sejumlah daerah. Status itu lebih nyaman didengar.
Namun, ada juga yang mengeritik pejabat tidak boleh cengeng dan kekanak-kanakan soal jabatan. Itu bukan tipe birokrat sejati! Mesti siap menerima apapun dengan segala risikonya. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.