Kota Bima, Bimakini.com.- Jika sekolah lain menerapkan sistem perankingan dalam penetapan prestasi siswa saat pembagian rapor, tetapi Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Insan Kamil tidak melakukannya. Nah, apa sebabnya? Pihak SDIT Insan Kamil berpandangan, paradigma sekolah yang hanya memberikan apresiasi pada anak yang cerdas secara ekademik, harus dihilangkan.
Kepala SDIT Insan Kamil Kota Bima, Erni Juhaenah, SP, menjelaskan berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang sudah diberlakukan sejak tahun 2010 lalu dikenal istilah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Menurut KKM prestasi anak di sekolah tidak dibandingkan dengan prestasi teman lainnya, tetapi berdasarkan dengan KKM-nya. “Jika anak sudah melampui KKM, maka anak tersebut cerdas,” ujarnya Kamis (21/6).
Diakuinya, Allah telah menciptakan masing-masing anak dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka akan berdosa kalau pendidik hanya menetapkan seorang anak itu unggul dibanding yang lain hanya berdasarkan kemampuan akademiknya saja. Padahal, kecerdasan itu meliputi delapan faktor, antara lain kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan intelektual, kecerdana spiritual, dan lainnya.
“Kita tidak mau menetapkan anak itu cerdas hanya berdasarkan nilai akademik saja,” ujarnya.
Diakuinya, ada anak yang secara inteletual bagus, tetapi dia tidak bisa bergaul dengan teman-temanya, berakhlak tidak bagus. Ada juga anak yang unggul dalam bidang olahraga, tetapi agak kurang pada bidang sains. Juga tidak sedikit anak yang punya jiwa seni dan keberanian lebih untuk tampil dibanding teman-teman sebayanya. “Nah, mereka ini kan punya kelebihan masing-masing yang telah Allah berikan,” ujarnya.
Selain itu, katanya, saat usia emas pertumbuhan dan perkembangan anak, sekolah tidak boleh mematikan kreativitas dan rasa percaya diri dengan hanya menetapkan anak yang pintar yang masuk 10 besar. Kemudian anak yang tidak masuk sepuluh besar itu merasa bodoh dan rendah diri. Tetapi, jika orangtua ingin mengetahui perkembangan intelektual anak, bisa langsung menanyakannya pada guru kelas atau untuk membandingkan dengan teman sekelasnya.
Manurut Erni, pembagian rapor dijadikan sebagai ajang komunikasi yang mendalam antara orangtua dengan guru mengenai perkembangan pendidikan anak, prestasi, kecenderungan dan tingkah laku mereka selama satu semester pembelajaran. Melalui informasi utuh dan gamblang dari guru dan ada umpan-balik dari orangtua, maka satu semester berikutnya orangtua dan guru akan dapat merancang dan mengarahkan anaknya sesauai hasil yang diperoleh. Apa saja sisi yang kurang akan diperbaiki dan yang sudah bagus dipertahankan.
“Di sekolah kami, sinergi antara orangtua dan guru bukan hanya formalitas belaka, tetapi benar-benar sebagai patner untuk menunjang tumbuh-kembang pendidikan anak,” ujarnya.
Komunikasi orangtua dengan guru juga tetap dibangun melalui kegiatan forum kelas, kumunikasi via buku penghubung dan Family Day. “Kesemuanya sebagai wahana orangtua dan guru mendiskusikan arah mendidikan anak,” katanya.
Diakuinya, saat awal penerapan sistem ini sejumlah orangtua sempat protes, namun setelah dijelaskan mereka pun memahami dan mendukung langkah sekolah. “Di sekolah kami tidak ada anak bodoh! Semuanya mendapat ranking utama sesuai kelebihannya masing-masing,” ujarnya.
Di SDIT Insan Kamil, kecerdasan anak tidak hanya diikur dari nilai akademiknya semata, tetapi kolaborasi dari delapan kecerdasan.
Ditambahkannya, paradigma sekolah yang hanya memberikan apresiasi pada anak yang cerdas secara ekademik harus dihilangkan. Karena pada kenyataannya banyak anak yang cerdas, tetapi bermoral buruk, berakhal buruk. “Bukankah tujuan pendidikan lelahirkan manusia yang berkarakter bukan cerdas akademik semata?” tandasnya. (BE.14)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.