Mataram, Bimakini.com.-
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) bertujuan untuk mendukung terwujudnya transparansi dan akuntabilitas. Badan Publik harus terbuka dan memberi ruang kepada publik untuk mengetahui informasi yang dikelola. Namun, dalam perapannya, masih ada lembaga publik yang menolak memberikan informasi.
Hal itu dikatakan Ketua Komisi Informasi Provinsi NTB, Agus Marta Hariadi, saat menjadi pembicara pada Diskusi Media dan Keterbukaan Informasi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mataram di Taman Budaya, Sabtu (14/7) lalu.
Dikatakannyan sebagian besar lembaga publik tidak mengetahui dan ada juga terang-terangan menolak memberi informasi ke publik atau melawan. “Penolakan itu mungkin karena kuatir aibnya terbuka. Ini menjadi persoalan sekarang,” ujarnya.
Salahsatu lembaga publik itu adalah DPR RI. Katanya, lembaga itu tidak mau memberikan data yang dimintai Indonesian Corruption Watch (ICW) berkaitan perjalanan Badan Kehormatan ke Yunani dan Komisi 10. Setelah ICW menjadikannya sengketa ke Komisi Informasi Pusat dan diputuskan untuk dibuka, barulah data itu diberikan.
Ironis, menurutnya, Dewan yang melahirkan UU KIP tidak berkomitmen melaksanakannya. Lembaga publik lain adalah Kepolisian, yang belum mau memberikan data ke ICW soal rekening “gendut” Polri. Padahal, KI Pusat sudah memutuskan agar disampaikan ke publik.
Keberadaan KIP NTB, salahsatunya untuk memroses sengketa informasi. Hanya saja, sarana yang dimiliki belum memadai.
UU KIP, terangnya, agar pengelolaan informasi maksimal, masyarakat mengetahui, dan terlibat dalam penentuan kebijakan. Muaranya akan melahirlah akuntabilitas publik.
Pemohon informasi, kata dia, tidak hanya lembaga yang berkaitan dengan publik, seperti media, namun bisa juga perseorangan. Media juga dalam aktivitasnya tetap tunduk pada UU 40 2009 tentang Pers, jangan sampai ada upaya untuk memangkas peran pers.
Kepala Kantor Berita Antara Mataram, PK Yanes Setat, menyatakan KIP menjadi salahsatu harapan. Meski sudah dua tahun diundangkan, banyak yang belum mengetahuinya. Termasuk dalam kalangan pers. “UU KIP belum menjadi harapan penuh. Ada proses untuk adukan. Sementara tuntutan berita adalah kecepatan menyampaikan informasi. Jika dibawa ke KIP makan butuh proses lama,” katanya.
Yanes juga mengaku heran ada lembaga publik menolak KIP. Mestinya dapat membua ruang agar publik mengetahuinya.
Akademisi STAIN Mataram, Dr. Kadri, M.Si, mengatakan media sudah menjadi informasi dan referensi publik. Media mampu menggiring opini publik, menggerakkan civil society untuk perubahan. “Peran media bisa sedikit tereduksi ketika informasi bukan rahasia,” ungkapnya. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.