Kota Bima, Bimakini.com.- Bima adalah satu di antara daerah yang kaya potensi mineral pertambangan. Namun , bangsa ini hanya mampu mengeluarkan izin untuk ekploitasi kekayaan alam negeri untuk bangsa lain. Kenyataan tidak memberi efek besar, jika belum mampu mengelolanya sebaiknya disimpan dalam perut bumi.
Hal itu dikatakan Dr. Lukman Malanuang, M.Si, saat dialog publik dan peluncuran buku “Merajut Masa Depan Bima” di Yuank Kafe, Selasa (23/7) malam.
Dikatakannya, daerah yang memiliki banyak sumberdaya mineral, belum tentu menyejahterakan. Ada fakta yang terbentang, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) di mana terdapat tambang emas di Sumbawa. Namun, ternyata tidak bisa mendongkrat peningkatan Indeks Sumberdaya Manusia (SDM). “IPM kita berada pada urutan 32 dari 33 provinsi, padahal kita memiliki kekayaan mineral,” ujar mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malang ini.
Hal sama juga dengan Papua yang memiliki kekayaan tambang Freeport, cukup besar kekayaan yang dihasilkan. Namun, IPM provinsi ujung Timur Indonesia itu tidak juga lebih baik. “Tambang itu akan selalu identik di dalamnya dengan politik dan korupsi,” katanya.
Pembangunan SDM, menurut pria kelahiran Sumbawa ini, sangat penting. SDM yang berkualitas akan mampu mengolah dan menggarap apa yang ada dalam alam dan bumi. “Tambang itu barang mahal. Tidak bisa berkembang-biak, jika tidak bisa mengolahnya saat ini, simpan saja, tidak akan hilang. Karena bumi adalah tempat paling aman untuk menyimpan kekayaan ini,” ujarnya.
Pandangan lain disampaikan Ilham A. Rasul, SE. Katanya, kebijakan daerah saat ini belum jelas prioritasnya. Ada anggapan bahwa Bima adalah daerah pertanian, namun juga tidak terlihat kebijakan ke arah sana.
Kata Ilham, jika melihat geografis Bima, maka yang terlihat adalah dominasi tanah pegunungan dan laut. Bahkan, jumlahnya mencapai 75 persen, sementara sisanya adalah lahan datar, untuk pertanian dan pemukiman. Bima saat ini belum memiliki ikon yang jelas. Apa produk unggulan yang bisa dikembangkan dan berimplikasi besar terhadap kesejahteraan rakyat. Hal itu tidak tercermin keberpihakan dalam anggaran pendapatan dan balanja daerah (APBD).
“Hasil penenelitian saya ketika menyusun skripsi tentang APBD Bima, terlihat masih berat pada belanja aparatur atau gaji pegawai,” ujar alumnus Universitas 45 Makassar ini.
Besarnya APBD yang dimiliki Bima, kata dia, bukan menunjukkan bahwa daerah ini kaya dan sejahtera. Jika dana perimbangan atau Dana Alokasi Umum (DAU) makin besar, maka menunjukkan daerah tidak memiliki apa-apa, alias hanya mendapat suntikan dari Pemerintah Pusat. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.