Bima, Bimakini.- Rumah Cita Bima kembali menggelar diskusi Damai Bima untuk Indonesia bertema “Sinergi Masyarakat Sipil, Pemuda dan Pelajar Menghadapi Konflik Kekerasan, Rabu (1/11/2017). Kegiatan itu berlangsung di aula SMAN 1 Kecamatan Wera dan diikuti sekitar 100 peserta. Mereka terdiri dari pelajar, guru, komite, KNPI, Karang Taruna dan elemen lainnya.
Kegiatan itu mendapat apresiasi dari pihak sekolah maupun pelajar. Apalagi, belakangan ini beberapa kejadian muncul di Wera dan membutuhkan sinergi dalam menyikapi dan mencari solusinya.
Wakasek Kesiswaan SMAN 1 Wera, Faisal, mengapresiasi kegiatan ini. Dia mengajak semua pihak agar menciptakan situasi kondusif dan aman di Wera.
Dia mengakui ada perubahan situasi di Wera dulu dan sekarang. Peristiwa yang menciderai kenyamanan sosial masyarakat harus menjadi pembelajaran agar tidak terulang.
Faisal juga mengajak agar dalam menyikapi masalah dan tidak cepat memvonis. Harus memahami sumber masalahnya, menganalisis, dan mencari solusinya. “Generasi muda harus terlibat dalam mewujudkan perdamaian atau menjadi aktor perdamaian,” ajaknya.
Direktur Rumah Cita, Muhammad Yunus, mengatakan, kegiatan ini sebagai bentuk kegelisahaan terhadap fenomena yang ada. Selama ini kegiatan diskusi seperti ini kerap dilakukan di kota dan saatnya menyisir hingga ke kecamatan.
Dia meminta budaya dialog harus ditumbuhkan, karena ini yang kurang, sehingga kerap merespons masalah secara emosional. Apalagi, generasi saat ini dibombardir oleh Tramadol, Narkoba, dan hal negatiff lainnya. Kultur kekerasan yang ada di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah harus kikis. Termasuk bagaimana meningkatkan peran masing-masing elemen.
Praktisi Pendidikan, Andi Irawan, juga mengakui ada kondisi yang memrihatinkan di Wera. Mudahnya muncul ketersinggungan personal. Lembaga pendidikan harus berperan dalam mereduksir konflik. Minimal tidak muncul masalah di lingkungan sekolah, atau dapat menyelesaikan persoalan secara internal, tanpa pelibatan pihak luar. “Harus ada juga guru yang bisa menjadi idola siswa, sehingga mau didengarkan arahannya,” ujarnya.
Pembicara lainnya, Muhammad Al Irsyad, menguraikan tentang makna konflik. Konflik sebagai pertentangan ada pada diri masing-masing individu. “Namun, konflik yang dikuatirkan adalah yang berujung pada kekerasan,” terangnya.
Selain ada yang paradoks yakni munculnya konflik di lingkungan sekolah. Padahal, lembaga pendidikan seharusnya berfungsi pembinaan dan aktivitas pembelajaran. “Memang remaja sekarang kemampuan menirunya lebih cepat, tanpa mampu membedakan mana yang baik dan buruk,” terangnya.
Selain itu, dia melihat adanya krisis tokoh. Ada pun tokoh yang muncul, karena penguasaan terhadap kekuasaan dan modal. “Bukan karena kapasitas dan keilmuan, namun kekuasaan dan ekonomi. Kalau sudah tidak memiliki itu, maka ketokohannya juga hilang,” ungkapnya.
Sofiyan Asy’ari mewakili Jurnalis sebagai pembicara mengatakan, harus ada kesadaran bersama dalam mewujudkan Bima yang nyaman dan aman. Stigma Bima sebagai daerah rawan konflik harus dilawan melalui gerakan-gerakan positif.
“Bagi pelajar, silakan menjadi pelajar yang baik, bukan preman yang berbaju pelajar. Jadi wartawan, ya wartawan yang baik, bukan memeras, dan merampok,” ujarnya. (BK25)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.