Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

New Normal Baru Wacana, Bukan Kebijakan

Dr Hermawan Saputra, SKM. MARS, CICS

SEMALAM saya dan beberapa kawan menggelar zoom meeting. Jumpa online melalui aplikasi Zoom itu, diikuti oleh saya dan diaspora Bima. Dr Hermawan Saputra, SKM. MARS, CICS sebagai narasumber. Pengatur lalu lintas diskusi adalah H Dudi Fakhruddin, tinggal di Jakarta.

Selain keduanya, ada juga Mansyur Arsyad, seorang pengacara kelahiran Nunggi Wera, yang berkarier di ibu kota. Selebihnya adalah saya, Julhaedin, dan Sri Nuryati. Zoom meeting durasinya cukup panjang. Lebih dua jam dan baru berakhir pukul 23.45 Wita.

Apa poin yang dibahas? Tentu terkait Covid-19. Narasumber sangat berkompeten di bidang ini, adalah Hermawan Saputra. Pria kelahiran Sape, Bima itu, menjadi pria paling populer se antero Indonesia, saat ini. Hampir setiap hari menjadi narasumber utama di televisi dan media nasional, bahkan internasional. Dia pakar kesehatan kebanggaan Bima, juga Indonesia saat ini.

Hermawan Saputra adalah seorang akademisi, pakar bidang kesehatan, dan pengamat kebijakan kesehatan Indonesia. Dia juga Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Dewan Pakar IAKMI Jakarta.

Hermawan lahir di Sape pada 24 Mei 1983, merupakan Praktisi Manajemen Perumahsakitan dan aktif di Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia. Ia menyelesaikan studi formal strata satu hingga strata tiga di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia. Pendidikan nonformal ditempuh Hermawan untuk Hospital Management Program by Jhonson & Jhonson and CHSAMPS UI di Singapura, serta Certified International Communication Specialist (CISC) dari American Academy USA.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dia juga aktif  sebagai Dewan Pakar pada Ikatan Alumni Program Manajemen Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia (IKAMARS-UI).

Saya sendiri secara fisik belum pernah jumpa dengan Hermawan. Tetapi di forum-forum diskusi daring, kami akrab dan saling kenal. Sebelum pandemi Covid-19, saya mulai melihat wajah anak muda ini pada poster dan baligo di jalan-jalan Pulau Sumbawa sebelum Pemilu 2019 lalu. Tidak banyak informasi yang bisa saya gali. Hermawan ternyata menjadi calon legislatif DPR RI Dapil NTB 1 Pulau Sumbawa, utusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Caleg yang diusung PKS di dapil panas yang hanya tersedia tiga kursi ini, bersaing dengan Johan Rosihan, Hermawan Saputra, dan Ferra Amalia di internal PKS. Partai ini memperoleh satu kursi yang dimenangkan oleh Johan Rosihan. Dua kursi lainnya dibagi oleh Gerindra dan PAN.

Demikian pula jelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Bima. Hermawan lagi-lagi muncul. Sempat meramaikan di awal-awal sebelum pandemi, akhirnya tenggelam, karena PKS sudah memunculkan pasangan dr Irfan – Herman Alfa Edison (IMAN). Sebagai kader, tentu Hermawan mengamini apa yang menjadi keputusan partai.

Terlepas dari persoalan Pilkada, Hermawan adalah diaspora Bima yang luar biasa moncer di masa pandemi ini. Beberapa kali sehari wajahnya muncul layar televisi nasional. Menjadi sangat familiar. Belum lagi harus melayani wawancara media cetak dalam dan luar negeri. Demikian pula dengan pertemuan daring yang dilakukan banyak kelompok masyarakat, termasuk pemerintah di daerah.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Apa poin penting dari zoom meeting kami semalam? New normal yang baru ini didengungkan, sebenarnya secara landasan hukum belum ada. Hanhya sebatas wacana, bukan kebijakan. Menurut Hermawan, pemerintah tidak padu dalam menghadapi adu lari bersama pandemi Covid-19. Hasil evaluasi Hermawan, negara sudah kalah dalam pertandingan adu lari babak pertama ini.

Namun menurut dia, masih akan ada pertandingan babak kedua. Mungkin modelnya marathon. Di sini tentu perlu kesiapan yang matang, adu strategi, juga stamina. Ada second wave atau gelombang kedua dari Covid-19 yang harus diantisipasi. Jangan sampai salah langkah, dalam lomba tahap dua ini. Jangan kalah lagi. “Keadaan itu akan berakibat pada banyaknya pasien positif dalam waktu bersamaan, tenaga kesehatan kewalahan, fasilitas perawatan minim, korban jiwa bisa lebih banyak,“ katanya.

Bagi Hermawan, new normal atau kenormalan baru yang sekarang diwacanakan, sebenarnya lebih pada sikap untuk menyelamatkan ekonomi, tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan dan keselamatn warga negara. “Ada dua kutub kepentingan yang saling berhadapan saat ini. Menyelamatkan ekonomi atau menjaga nyawa manusia,“ katanya.

Hermawan menilai, dengan adanya wacana kenormalan baru, negara terlihat mementingkan penyelamatan ekonomi, dari pada menjaga kesehatan warga negara. “Ini tentu risikonya sangat besar,“ ujarnya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Tidak padunya kebijakan dari pemerintah pusat hingga ke daerah, akan berdampak pada semakin lamanya pandemi ini bisa diselesaikan. Ekonomi tetap menjadi korban, kesehatan dan keselamatan masyarakat juga sulit diselamatkan. Kondisi ini harus segera dihentikan.

Di daerah misalnya, Hermawan sempat bertanya, apakah sudah ada koordinasi atau rapat bersama antara tiga pemerintah yang ada di Bima dan Dompu. “Setahu kami sejauh ini memang belum ada sama sekali,“ kata Juhaedin yang diamini juga oleh Sri.

Hermawan berharap, harus segera dilakukan agar ada kesamaan visi dan persepsi terkait adu marathon melawan Covid-19. “Saya menitip harapan kepada kawan-kawan di Bima yang memiliki kontak baik dengan tiga kepala daerah kita, agar mereka bisa segera berkoordinasi. Secepatnya. Harus ada langkah bersama yang padu untuk menyelematkan rakyat,“ pintanya.

Kata dia, Bima dan Dompu harus bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19, karena tiga daerah otonomi ini secara geografis bisa dilokalisir.  `Harus ada upaya-upaya melokalisir wilayah agar penyebaran virus bisa dikendalikan,“ sarannya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dia meminta kepada seluruh masyarakat agar tetap melaksanakan protokol kesehatan. Tetap memakai masker, menghindari kerumunan, mencuci tangan pakai sabun jika memegang benda-benda di ruang publik yang ada kemungkinan terdapat droplet dari pembawa virus. Hindari pula menyentuh wajah, utamanya mulut, hidung, dan mata sebelum mencuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer. “Kita harus benar-benar waspada, jaga jarak. Karena 80 persen orang yang terpapar virus tidak menunjukkan gejalan apa pun. Mereka terlihat sehat dan baik-baik saja, tetapi bisa menularkan kepada warga lain,“ katanya.

Apa bahayanya? Kita boleh saja terlihat sehat. Tetapi kita bisa berbahaya bagi orang lain yang lebih rentan. Misalnya orang usia lanjut dan yang memiliki penyakit bawaan. Mereka ini yang akan menjadi korban.

Hermawam menyesalkan sikap orang di lingkungan istana presiden yang lebih mementingkan ekonomi daripada kesehatan. Jika sejak awal langkahnya padu, harusnya Indonesia tidak terlalu berisiko seperti sekarang. “Saya perkirakan puncak gelombang pertama adalah akhir Juni 2020. Tetapi sekarang siapa yang bisa memprediksi dengan kebijakan yang berubah-ubah dan tidak sejalan ini,“ tandasnya.

Tangkap layar zoom meeting semalam. (foto: Mansyur Arsyad)

Dudi Fakhruddin sebagai salah satu pelaku eknomo mikro menyampaikan dampak Covid-19 secara ekonomi seperti yang dialami sejumlah kliennya. Ada perusahaan yang omzetnya sekitar Rp300 miliar sebulan, saat ini tinggal Rp40 miliar saja. “Mereka tetap membayar gaji karyawan selama dua tiga bulan ini dengan omzet yang tinggal 10 persen. Padahal karywan itu tidak bekerja. Daya tahannya tentu akan habis jika kondisi tidak kunjung berubah hingga dua bulan ke depan. Ini situasi yang sangat sulit, karena tidak padunya kebijakan pemerintah dalam menghadapi penyebaran Covid-19,“ katanya.

Mansyur Arsyad memandang ekonomi juga harus diselamatkan karena dampaknya akan lebih berbahaya. “New normal ini adalah langkah tepat untuk menyelamatkan ekonomi bangsa. Namu tetap harus waspada. Jangan panik,“ ujarnya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saya lebih banyak menyimak. Hanya sempat menyoroti keharusan  Rapid Test dan Swab bagi warga yang akan bepergian. Ini sangat membebani masyarakat yang sudah sulit hidupnya akibat pandemi ini. Biaya tes malah lebih mahal dari tiket pesawat. Belum lagi prosedur dan tempat untuk dilakukan tes itu. Harusnya tetap saja dengan prosedur yang biasa. Di bandara atau pelabuhan siapkan thermo scanner. Jika ada calon penumpang yang dicurigai saja yang perlu penanganan lanjutan. Itu pun harus ada fasilitas tes di tempat itu. Tidak perlu menunggu lama-lama, apalagi sampai berhari-hari.

Ini mengingat terbatasnya kemampuan tes kita di NTB. Di Pulau Sumbawa misalnya, hanya mampu dilakukan tes Swab untuk 40 sampel sehari. Ini pun untuk Pasien dalam Pengawasan (PDP). Berapa lama antrenya warga yang hendak bepergian? Bagaimana dengan perjalanan darurat? Inilah salah satu contoh tidak selarasnya kebijakan itu. Ada syarat yang harus dipenuhi, tetapi untuk mendapatkan sayarat juga sangat tidak mudah. Tujuannya untuk menggerakkan kembali roda ekonomi, tetapi rodak tidak kunjung bisa beranjak juga karena lokomotif tidak bisa digerakkan. Bagaimana menurut Anda? Salam Khas! (Khairudin M. Ali)

 

 

Iklan. Geser untuk terus membaca.

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Ke Jeddah saat Menunggu Kembali ke Tanah Air ‘’USAI makan siang, kami menunggu bus yang akan mengantarkan ke Jeddah. Kami menunggu di pelataran hotel...

CATATAN KHAS KMA

Tur ziarah ke Kota Thaif HARI ke delapan, di tanah suci, rombongan jamaah umroh kami mengikuti program tur ziarah ke kota Thaif. Berikut lanjutan...

CATATAN KHAS KMA

Umroh ke Dua SELEPAS holat subuh berjamaah di masjidil haram, sekitar pukul 10.00 pagi, kami menaiki bus yang mengatar kami ke lokasi Miqat di...

CATATAN KHAS KMA

Rutinitas Ibadah di Masjidil Haram RANGKAIAN ibadah umroh wajib telah berakhir. Itu cukup menguras tenaga, karena proses Tawaf dan Sa’i yang diakhiri Tahalul yang...

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...