Protes masyarakat terhadap rencana pembangunan muncul lagi. Kali ini, Gelanggang Olah Raga (GOR) di Manggemaci Kota Bima. Protes yang diekspresikan dengan mencabut patok kayu yang dipasang pekerja itu terjadi Selasa dan Rabu. Ada sisi yang disorot warga, yakni soal sosialisasi dan hilangnya ruang ekspresi masyarakat.
Kasus itu adalah “copy paste” dari protes masyarakat sekitar terhadap pembangunan lapak permanen di lapangan Pahlawan Raba. Sama seperti protes warga di bagian Utara Kota Bima yang kehilangan areal terbuka untuk berbagai kegiatan sosial dan olah raga.
Kehilangan ruang berekspresi adalah sorotan penting yang memerlukan perhatian. Masyarakat kota berbeda dengan masyarakat perdesaan, mereka tidak terlalu memiliki banyak ruang terbuka untuk berekspresi. Padahal, himpitan kehidupan dan gempuran arus globalisasi meniscayakan mereka meluangkan waktu untuk menyegarkan pikiran (refreshing). Ketika areal terbuka yang selama ini nyaman mereka gunakan terusik, maka muncul semacam keguncangan yang memantik protes.
Sebenarnya, pembangunan fasilitas baru itu adalah tuntutan perkembangan daerah. Hingga kini, Kota Bima belum memiliki fasilitas yang representatif untuk perhelatan kegiatan berskala besar dan mampu merangkum banyak pihak. Saatnya, daerah ini memiliki fasilitas memadai yang bisa menjadi areal untuk berbagai kegiatan dan pembinaan atlet. Kita mestinya malu ketika ada pertandingan sepakbola berlabel Divisi II, lapangan Manggemaci hanya ‘dipoles’ apa adanya dan berdinding bedek. Padahal, potensi untuk berbuat lebih dari itu ada. Nah, rencana memulai pembangunan GOR itu selayaknya dilihat dari konteks untuk berbenah menuju perubahan itu.
Pada sisi lain, pemerintah juga tidak boleh mengabaikan sisi kepentingan warga untuk mengekspresikan diri. Saat ini, lapangan Manggemaci hampir tidak pernah sepi dari kegiatan olah raga dan sosial lainnya. Oleh karena itu, mendesak ada pertemuan antara pemerintah, warga, dan pihak yang berkaitan untuk membangun kembali kesepahaman agar titik temu kepentingan bisa tercapai. Kegagalan di titik ini atau ketidakmampuan melewati proses ini bisa menjadi batu sandungan bagi pola hubungan dengan pengelola dan warga sekitar.
Lebih dari itu, ada sisi yang kini dijadikan contoh oleh masyarakat soal pembangunan fasilitas olah raga. GOR Mini di Raba hingga kini mangkrak dan menjadi pintu masuk bagi munculnya pesimisme masyarakat soal komitmen Pemkot Bima membangun sarana yang representatif. Artinya, pemerintah selayaknya mengevaluasi menyeluruh agenda pembangunan fasilitas baru agar tidak terkesan setengah hati.
Dari kasus lapak permanen, GOR Raba, dan protes warga di bagian Utara beberapa waktu lalu, mesti mampu dijadikan pelajaran berharga dalam agenda pembangunan selanjutnya. Terutama pada dua aspek, yakni sosialisasi dan ruang berekspresi publik. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.