(Muhammad Fikrillah)
Seorang ustadz asal Bima di Kota Malang Jawa Timur, H. Mukhtar, dulu begitu percaya diri dengan kemampuan para remaja dan pemuda Mbojo dalam melantunkan ayat suci Al-Quran. Di depan jamaah berbagai forum di kota dingin nan sejuk itu, dia berani menantang kemampuan itu secara terbuka. Bahkan, menantang, jika sepuluh remaja dan pemuda Mbojo disuruh berdiri, maka siapapun yang dipilih (meski dengan mata tertutup), pilihan bebas itu pasti bisa mengaji.
Ya, bukan Dou Mbojo kalau tidak bisa mengaji, karena kultur dan semangat lingkungan memungkinkan kemampuan melafazkan huruf Arab itu berkembang. Era dulu hingga paruh awal 90-an, pengajaran dan pembelajaran Al-Quran, bisa dikatakan merupakan momentum keemasan. Bima memroduksi qari-qariah dengan kekhasan suara. Sosok H. Abubakar Husen dan H. Ramli Ahmad, mertua dan menantu, adalah contoh par exelence dalam prestasi mengaji karena menembus batas negara. Mereka juara dunia.
Tapi, itu setting-an Bima 'tempo doeloe' Bung… Wakil Wali Kota Bima, H. Abdurrahman, merindui suasana religiusitas Bima itu dan diungkapkannya pada berbagai kesempatan. Bagaimana Bima hari ini? Masihkah rumah-rumah terdengar lantunan suara mengaji. Masihkah anak-anak pada sore hari membawa Al-Quran menuju rumah guru ngaji? Pertanyaan atau gugatan serupa masih bisa dideret panjang.
Harus diakui, Bima hari ini tidak seperti dulu. Bima hari ini, dalam kompleksitas balutan persoalan sosial-kemasyarakatan yang memerlukan perhatian lebih. Wajah Bima hari ini, ada sebagian yang menilai, dalam aroma modernitas yang salah arah. Bahkan, cenderung ke-Barat-Barat-an. Saat Magrib, suara TV berwajah sinetron dan lagu lebih kencang daripada lantunan Quran. Anak-anak lebih hafal bintang sinetron dan film kartun, ketimbang urutan bulan Hijriyah dan nama Nabi. Ironisnya, ada Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) yang SK-nya sempat ditahan karena gagal meyakinkan Dewan Juri yang menilainya saat Diklat Pra-Jabatan.
Saat menjelang Magrib, para remaja dan pemuda masih berkeliaran di pusat keramaian, masih menyudut menikmati panorama dan desiran angin sore di Ama Hami dengan jarak duduk yang tanpa batas. Ironisnya lagi, masih berboncengan mesra dalam kehangatan pelukan yang membuai, layaknya posisi joki pacuan kuda. Mengumbar kemesraan. Bima hari ini sudah banyak mengoleksi kaum muda dan pelajar yang terjebak hamil di luar nikah, pergaulan bebas, dan Narkoba.
Namun, fakta lain tidak seseram itu. Tidak bisa pula dipungkiri, sejumlah sumberdaya manusia (SDM) Bima menorehkan prestasi dalam bidang pendidikan, olah raga, dan kesenian. Sejumlah qari dan qariah Mbojo mampu membuktikan kemampuannya pada level provinsi dan nasional.
Sesungguhnya, kita dalam gairah kerinduan yang sama, merindukan suara ngaji pada setiap rumah. Sama dengan H. Abdurrahman, H. Mukhtar, dan kaum tua lainnya. Program 'Bima Berzakat, Magrib Mengaji' adalah saluran ekspresi yang tepat untuk "membumikan" kerinduan itu. Mari kita memulainya sekarang dan ibda bi nafsihi…
(Tulisan ini pernah dimuat di http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/11/bima-tempo-doeloe/)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
