Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Mesin Ketik Pak Camat

Prof Dr Abdul Wahid, M.Ag, M.Pd

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil saya dengan sebutan itu.

‘’Ayo, kapan pertama kali kita bertemu,’’ kejarnya lagi. Saya terus berpikir dan berpikir. Saya sungguh berharap, bisa menjawabnya. Tetapi saya gagal. Saya benar-benar tidak ingat.

Saya memang punya dua kelemahan. Mengingat wajah dan nama orang. Mungkin ingat nama, tetapi siapa? Atau mengingat wajah, tetapi di mana? Bahkan istri saya sempat kesal karena itu.

Dia adalah Abdul Wahid. Lengkapnya, Prof Dr Abdul Wahid, M.Ag, M. Pd, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.

Ternyata kami sudah lama bertemu. Lama sekali dan dia mengingatnya dengan baik. Itu ketika saya masih menjadi wartawan Harian Suara Nusa di Mataram. Suara Nusa ini, adalah Lombok Post sebelum ganti nama.

Pada 1998, Abdul Wahid yang masih berusia 27 tahun, menjadi salah satu tokoh yang mendukung pencalonan Drs H Harun Al Rasyid menjadi Gubernur NTB. Nama populernya, Wahid Sambinae. Saat itu, dia sedang menjadi mahasiswa magister di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Jogjakarta.

Bagi pria yang lahir di Bima, 6 Mei 1971 ini, saya bukanlah orang asing. Walau jumpa (lagi) baru terjadi tahun lalu. Interaksi kami di media sosial cukup kerap terjadi.

Baca juga: Profesor Energik!

Kini anak muda itu, sudah menjadi guru besar. Ia mendapat gelar profesor berdasarkan Keputusan Menteri Agama pada 20 Juli 2022. Itu adalah gelar tertinggi di bidang akademik. Luar biasa!

Abdul Wahid menyusul istrinya, Atun Wardatun yang sudah lebih dahulu dikukuhkan menjadi guru besar, tahun lalu.

Baca juga: Ujian Seorang Doktor

Saya sebenarnya tidak terlampau kaget dengan capaian ini. Selain karena karena cerdas dan kapasitas keilmuannya, Abdul Wahid adalah seorang dosen yang sangat rajin menulis. Banyak buku sudah dilahirkan. Demikian pula dengan karya tulis ilmiah yang dipublikasi pada jurnal regional dan internasional.

‘’Hidup ini ringkas, maka gunakanlah untuk pengabdian terbaik. Terlibatlah dalam setiap tindakan sosial dan kemanusiaaan,’’ kata anak ke enam dari sepuluh bersaudara ini kepada saya.

Seperti banyak anak rantau, Abdul Wahid bukanlah anak yang dimanjakan dengan fasilitas. Tamat S1 di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 1994, ia memutuskan merantau ke Jogjakarta.

‘’Yang paling saya ingat adalah ketika menjandi mbambung di Jogjakarta sambil cari peluang kerja atau pendidikan selanjutnya,’’ kata putra pasangan H Mansyur H Ismail dengan Hj St Maryam Jamaludin ini.

Bagi yang merantau di Jawa, pasti paham istilah mbambung ini. Kalau saya cek di kamus Jawa-Indonesia, artinya tidak menggunakan pikiran, atau kurang waras. Tetapi yang lebih cocok dengan kondisi Abdul Wahid kira-kira luntang-lantung atau pengangguran.

Saat di Jogjakarta, hari-harinya diisi dengan menjelajah perpustakan. Perpustakan UIN Jogjakarta, Perpustakaan Hatta, Perpustakaan Kanisus, Perpustakaan Basis, juga perpustakaan Sastra UGM tidak ada yang dilewati. Dia juga menjelajah toko-toko buku.

‘’Saya sering membaca buku baru di toko buku depan kampus UIN Jogjakarta. Gratis,’’ kisah penyuka kuda ini.

Rupanya, kekerapan dia ke toko buku tetapi tidak pernah membeli buku itu, diam-diam diperhatikan oleh seorang Satpam. ‘’Suatu saat dia kesal dan menginterogasi saya,’’ ujarnya.

Akrab dengan putri terakhir mereka, Nawa.

Walau pernah diinterogasi Satpam, Abdul Wahid tidak kapok. Dia malah mengatur siasat agar tetap bisa membaca di toko buku itu. ‘’Saya pura-pura cari buku. Saya ajukan buku yang judulnya saya karang sendiri untuk dibeli. Dicari-cari sama penjaga toko, tetapi tidak ketemu, maka amanlah saya,’’ katanya sambil tertawa.

Saat belum ada pekerjaan atau menganggur itu, dia menumpang pada kos senior yang liburan panjang. ‘’Kosnya saya tempati. Setiap subuh saya selalu mengetik dengan mesin ketik Adler kesayangan saya. Setiap subuh selalu terdengar suara mesin ketik dari kamar itu,’’ kisahnya.

Sampai-sampai bapak dan ibu kos selalu bilang dari luar begini: Pak Camat sudah bangun, pak Camat sudah bangun.

Jogjakarta bagi Abdul Wahid, adalah kota yang telah menempanya dengan segala suka dan duka. Di sinilah dia menimba sebanyak-banyak ilmu saat masih punya waktu. Kalau anak muda lain mengisi waktu dengan urusan lain yang menyenangkan, Abdul Wahid malah mainnya dengan buku, buku, dan buku.

Kondisi seperti itu, tentu kadang membuatnya ingat akan kampung dan juga orang tua. Kangen, ingin pulang, pasti ada. Seperti kita juga.

Suatu waktu ia berjalan dari kampus UIN ke Perpustakaan Sastra Universitas Gajah Mada (UGM), lalu ke Shopping Center. Ketika pulang, dia lelah dan masuk ke toko buku Al-Fath di lingkungan Malioboro. Saat buka-buka buku, dia mendengar lantunan suara emas Bimbo. Ada sajadah panjang terbentang, mencari rejeki mencari ilmu. Lagu itu begitu membuat emosinya teraduk.

‘’Spontan air mata saya meleleh mengingat bapak dan ibu di rumah. Mungkin sedang memikirkan anaknya di rantauan. Usai kuliah, saya tidak memberi tahu keberadaan saya kepada orang tua. Setelah reda menangis itu, saya pulang ke kos. Saya menulis surat ke orang tua,’’ ujarnya.

Isi suratnya: ‘’Jangan melihat saya sekarang, tapi lihatlah kelak ketika saya berumur 40 tahun.’’

Selain menyelesaikan studi S2 di IAIN Sunan Kalijaga, Abdul Wahid juga menyelesaikan magster di Universitas Negeri Jogjakarta (UNJ). Dia tamat pada 2002. Gelar doktor dia raih pada 2016, di Universitas Udayana Bali.

Selain studi dalam negeri, Abdul Wahid juga menempuh sejumlah pendidikan di luar negeri seperti di Singapura, Australia, dan Iowa Amerika Serikat.

‘’Semua tahapan pendidikan di berbagai kota, sama-sama memberi kesan yang mendalam,’’ kata suami Prof Dr Atun Wardatun ini.

Saat di Iowa Amerika, misalnya dia sama kuliah dengan istrinya di kampus yang sama. Putranya Wali, saat itu masih berusia tiga tahun. Karena tidak ada pengasuh, mereka bergiliran menjaga. Kadang Walid dibawa ke sekolah dan diserahkan kepada ibunya yang selesai jam kuliah. Sempat juga sambil kerja di restoran kampus.

Abdul Wahid, sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi dosen. Ia ingin menjadi penulis. Kalau bisa, menulis keliling dunia. Tetapi nasib berkata lain. Saat mampir di Surabaya, dia bertemu dengan kawan-kawan lamanya yang sedang mendaftar sebagai calon dosen.

‘’Ada satu kawan saya yang mengajak juga, akhirnya mendaftar. Dari 40 pendaftar, satu yang diterima, yaitu saya. Saya sempat kaget sendiri, kok saya jadi dosen?,’’ ujar penyuka duwe (Bima) di masa kecilnya itu.

Mengutip Ali Syari’ati, seorang sosiolog revolusioner Iran yang hidup pada 1933 hingga 1977, Abdul Wahid menyebut: ‘’Jika engkau hendak menemukan dirimu ada di masa depan, lepaskanlah ikatanmu dengan segala potensi primordial’’

Selamat pak Prof! Kami turut bangga. (khairudin m ali)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

Pendidikan

Mataram, Bimakini.- Di saat bangsa Indonesia terus berupaya dalam pemberantasan korupsi di berbagai sektor, sudah sepatutnya dunia Perguruan Tinggi turut berkontribusi mencetak kader-kader bangsa...

CATATAN KHAS KMA

BEBERAPA hari ini, media ramai memberitakan penggunaan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengganti kupon undian pada pawai Rimpu. Itu sederhana sekali. Alasan penyelenggara, untuk...

CATATAN KHAS KMA

  SAYA ini kadang iseng. Bertanya kepada orang lain tentang cita-cita masa kecil seseorang. Itu agak privasi. Bisa jadi juga, itu rahasia. Tidak pernah...