Kota Bima, Bimakini.com.- Kekerasan atau konflik yang terjadi di Bima direproduksi juga oleh pengaruh budaya Bima. Karakter orang Bima cenderung emosional dan cepat tersinggung. Hasil penelitian sepanjang tahun 2005-2010 menunjukkan hal itu.
Demikian fakta yang diungkap akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima, Syarif Ahmad, M.Si, saat seminar pembaruan Civil Society Bicara Solusi Konflik, Peran Civil Society Sebagai Instrumen Pengurai Eskalasi Konflik Sosial yang Efektif di Bima di aula SMKN 3 Kota Bima, Senin (25/6).
Pemicu konflik itu, kata Syarif, di antaranya karena tingginya pengangguran. Kenyataan itu terlihat dari data Badan Pusat statistik (BPS) dan umumnya dari kelompok terpelajar. Hal itu muncul karena kebijakan pembangunan daerah lebih berorientasi fisik, bukan sumberdaya manusia (SDM).
“Jika muncul pertanyaan apa yang dilakukan pemuda dalam melihat persoalan konflik, maka pertanyaan lainnya adalah apa yang dilakukan pemerintah terhadap pemuda,” ujarnya.
Katanya hasil penelitian yang dilakukan tentang konflik yang terjadi, sebagian pemicunya dari kalangan muda. Tidak adanya ruang publik dan pekerjaan, menjadi salahsatu pemicu masalah konflik di daerah ini.
Mengatasi masalah itu, menurut Syarif, salahsatunya dengan mengubah paradigma tentang konflik yang selalu dinilai negatif. Pandangan bisa diarahkan pada hal positif dengan mencari solusinya. “Jika dipandang terus negatif, maka sulit merumuskan resolusinya,” jelasnya.
Akademisi STIH Bima, Drs. Sukirman Azis, SH, MH, mengatakan, konflik satu sisi bisa menjadi malapetaka, namun bisa mendatangkan rejeki bagi yang lain. Seperti terbakarnya kantor Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima yang mendatangkan anggaran untuk kantor baru.
Seperti pandangan Syarif, Sukirman mengatakan, konflik sebagai fenomena sosial tidak selamanya negatif, namun bisa positif. Setelah konflik terjadi, maka selalu ada hikmah atau pelajaran yang dapat diambil.
Namun, katanya, dalam kehidupan bermasyarakat perlu ada aturan hukum untuk menyeimbangkan tatanan sosial. Jika terjadi ketidakseimbangan, maka hukum harus bisa mengembangkannya lagi. “Aspek budaya hukum menyangkut orang menaati hukum. Karena dia sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama. Dengan hukum orang bisa merencanakan masa depan dengan tidak melanggar hukum. Kalau semua memahami aturan mainnya, tidak akan melawan hukum,” ujarnya.
Budaya hukum yang perlu ditumbuhkan, kata dia, yang dianut oleh masyarakat, bukan karena takut pada polisi. Penegakan hukum bisa menjadi mudah, jika aturan itu tidak ambigu.
Sukirman juga mengeritik, minimnya anggaran untuk pembangunan budaya dan sosialisasi hukum. Pembangunan lebih berorientasi politik, karena berbicara konflik pendekatannya preventif dan represif.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbangpolinmas) Kabupaten Bima, Syafrudin, mengakui minimnya anggaran untuk sosialisasi hukum, termasuk terkait dengan tugas instansinya. Meski pemerintah daerah tetap berupaya mendekati tokoh masyarakat dan agama untuk meredam terjadinya konflik.
Konflik yang muncul di Bima, kata dia, telah menjadikan daerah ini dikenal di mana-mana. Ketika menyinggung soal konflik, maka rujukannya daerah ini. Instansinya tidak bisa bekerja optimal untuk menekan terhadinya konflik mengingat ketersediaan anggaran yang terbatas. “Bakesbanglinmaspol minimnya anggaran, tempat buangan manusia buangan. Namun, saya tidak menganggap diri sebagai manusia buangan,” katanya.
Dia mengaku siap bekerja optimal jika anggaran mencukupi, juga siap dipecat jika memang tidak mampu mengemban tugas. Kegiatan seminar yang dilakukan Babuju mestinya menjadi tugas Kesbang, namun lagi-lagi soal anggaran. “Saya berterimakasih telah diundang,” katanya.
Syafrudin juga mengeritik media yang dianggapnya ikut memberi andil dalam konflik. Media dinilainya yang mencitrakan daerah Bima, hingga terkenal di luar.
Pembicara lainnya, Ir. Khairudin M Ali, M.AP, mengakui jika media juga berperan memrovokasi konflik. Media mestinya juga bisa menjadi provokator yang mendorong terjadinya perdamaian.
Khairudin juga menyorot media televisi nasional yang terkesan menjadikan konflik sebagai berita layak tayang. Untuk media Bima, perannya masih belum maksimal, terutama cetak, karena keterbatasan berbagai hal, salahsatunya oplah dan perluasan sebaran.
“Media berperan dalam situasi konflik. Meski Jurnalisme Damai masih sulit diterapkan. Kalau jurnalisme perang atau hitam-putih lebih gampang,” ujarnya. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.