MENJELANG Ramadan 1433 Hijriyah, kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) seolah menemukan momentum terbaiknya di Kota Bima. Pada berbagai wilayah, laporan kasus itu bermunculan. Korban pun meradang. Ada yang memang sudah sah memilikinya, namun ada juga yang masih dalam proses kredit. Kelihaian para pencuri pun semakin tinggi. Bahkan, sampai mengangkat motor melewati pagar tembok sekalipun. Ini berarti agresivitas mereka memerlukan daya antisipatif yang lebih tinggi pula.
Maraknya kemunculan kasus Curanmor menjelang Ramadan adalah sinyal buruk. Paling tidak ada dua pesan jelas yang bisa dibaca. Pertama, kondisi stabilitas pertahanan keimanan umat goyah, karena mencuri adalah perbuatan dosa. Ini persiapan buruk pra-Ramadan dan bertentangan dengan semangat agama yang menyuruh menyiapkan fisik dan nonfisik menghadapinya. Jika level persiapan seperti itu, maka durasi waktu yang bergulir selama Ramadan hanya rutinitas tanpa makna.
Kedua, maraknya Curanmor merupakan tantangan masyarakat dan Kepolisian agar meningkatkan kewaspadaan. Berbagai upaya memang telah dilakukan. Diperlukan upaya lain dari biasanya, dari cara-cara konvensional selama ini untuk meminimalisasi kasus. Sisi lain yang perlu dicermati adalah aspek kecemburuan kaum muda terhadap teknologi. Sayangnya, bukannya berkeringat mengumpulkan uang dan membeli, tetapi menggarong milik orang lain. Jika ada yang geram dan emosinya meledak-ledak saat pelaku Curanmor ditangkap, pada tingkatan tertentu, bisa dimengerti. Namun, tetap saja kesalahan seperti itu mesti diserahkan kepada proses hukum. Biarlah hukum yang akan membandrol ganjaran perbuatannya.
Maraknya kaum muda yang terjebak kasus Curanmor menegaskan bahaya laten pengangguran di tengah masyarakat. Pengangguran tidak terdidik seperti itu kerap berkontribusi terhadap kejahatan lainnya, tidak hanya Curanmor, tetapi juga minuman keras, Narkoba, dan sejenisnya. Selain itu, kasus tawuran antarwarga juga seringkali menjebak kaum muda di dalamnya. Sisi buram sebagian kaum muda ini memerlukan penanganan secepatnya, karena mereka bisa mengontribusi atau mengotori kanvas sosial yang sedang diupayakan bersih.
Sekali lagi, agresivitas negatif kaum muda menjelang Ramadan, yang diwakili rangkaian kasus Curanmor itu, sangat menguatirkan. Curanmor itu telah menggiring kaum muda dalam alur irama gerakan yang sangat bertentangan dengan arus utama hasrat umat Islam: merindui Ramadan dan menyiapkan diri menghadapinya sebaik mungkin. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.