Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Selamat Jalan Heri Suparman (1)

 

Ir. Heri Suparman (almarhum)

TADI malam saya benar-benar kaget. Juga sangat berduka. Saat mengikuti tausyiah Prof Ahmad Thib Raya di Salama, saya menerima kabar duka itu. Saya hanya terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. Dalam hati hanya mengucapkan innalilahi wa ina ilaihi raji’un. Orang pertama yang saya beritahu: Akhyar H M Nur. Wartawan Tempo.co.

Malam itu, saya menghadiri takziyah hari ke empat kepergian almarhumah Hj Siti Zaenab binti H Yakub, ibunda tercinta Prof Ahmad Thib Raya dan Prof Hamdan Zoelva. Saya tidak perlu jelaskan dua tokoh ini. Anda lebih tahu. Saya berharap bisa menulis keduanya di suatu waktu. Kelak.

Tetapi ini tentang kabar duka itu. Tentang seorang wartawan. Senior yang rendah hati, yang nyaris tidak bisa hidup layak dengan profesinya itu. Dia hidup sederhana sekali. Nyaris tidak memperoleh apa-apa dari profesi yang ia tekuni hingga akhir hayatnya. Meninggalkan seorang istri dan dua buah hati yang masih duduk di sekolah menengah.

Namanya Heri Suparman. Di kalangan wartawan, nama ini pasti tidak asing. Entahlah bagi wartawan muda. Saya mengenalnya sudah sangat lama. Sejak pertama terjun di profesi ini. Itu 29 tahun yang lalu. Saat itu dia seperti langit. Jauh di atas sana. Saya hanya fresh graduate, yang baru tamat kuliah dan baru belajar menulis. Selain wartawan Majalah GATRA saat itu, alumni Fakultas Pertanian Unram itu, juga sedang menjadi sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB. Jabatan mentereng di organisasi wartawan satu-satunya saat itu. Kelak, kami berdua akhirnya sama-sama menjadi Dewan Kehormatan PWI NTB.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Hubungan kami dekat sekali. Kami lebih dari saudara. Secara hubungan kekerabatan pun, masih cukup dekat. Ibu beliau dari Samili, Woha. Keluarga saya, juga keluarga Heri juga. Dia lahir di Sumbawa, dari ayah asli Moyo Hulu.

Sejak pertemuan 29 tahun lalu itu, kami terus berhubungan. Bahkan sampai sehari sebelum saya menerima kabar duka itu. Sabtu pagi saya sempat menelepon. Suaranya berat. Diana, istrinya menyebut Heri dirawat di rumahnya. Tidak dibawa ke rumah sakit karena takut Covid-19. Heri menderita diabetes.

Pertemuan terakhir kami pada 19 Mei 2021. Dia bersama istri dan anaknya berkunjung ke kediaman saya di Bima. Heri memang sangat rajin menjaga silaturahmi. Pada pertemuan dalam suasana Idul Fitri itu, saya melihatnya sehat, hanya tampak kurus. Saya sempatkan foto. Termasuk dua anak kebanggaannya, Panji dan Kania. Dia antusias sekali bercerita tentang dua buah hatinya itu. Istrinya, Diana, hanya senyum-senyum saja. Dengan istrinya pun, saya sangat akrab.

Dia dan keluarganya tinggal di sebuah desa di Kecamatan Moyo Hilir. Desa Ngeru namanya. Saya pernah berkunjung di sana. Sebuah desa permai yang subur. Sepanjang mata memandang, hanya hamparan sawah yang hijau. Itu desa istrinya. Mereka bertemu di Mataram. Usianya terpaut cukup jauh. Diana kuliah di sana.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Diana (istri) dan Kania (putri) saat berkunjung ke rumah saya.

Setelah berhenti, atau tepatnya diberhentikan oleh Lombok Post tahun 1999, saya bersama Heri memutuskan membangun media kecil di Sumbawa. Namanya SumbawaEkspres. Bukan hanya kami berdua. Ada dua kawan lagi. Antony Mithan, mantan wartawan Bali Post dan Agus Hakim, yang keluar dari Lombok Post. Kami berempat membangun media kecil pertama di kota Sumbawa Besar. Kami berbagi tugas. Heri Pemimpin Redaksi, saya Redaktur Pelaksana. Antony Mithan Kabag Pemasaran, Agus Hakim Pemimpin Redaksi. Di media inilah lahir sejumlah wartawan Sumbawa, termasuk Jamhur Husain.

Dari empat personel ini, hanya saya yang di kantor redaksi, di Brang Bara Sumbawa. Lainnya di Mataram. Karena anak istri kami masih tinggal di Mataram. Di sinilah saya bekerja sebagai tukang ketik, tukang menulis berita, tukang edit, tukang layout, tukang mengantar master paper untuk dicetak ke percetakan. Semua saya kerjakan. Mulai dari sore, hingga subuh, begitu seterusnya. Kecuali Sabtu setiap pekan.

Saya harus mengetik ulang semua naskah yang dikirim melalui facsimile dari LKBN Antara di Mataram. Juga berita yang dikirim Heri, Agus Hakim, dan Antony dari Mataram. Saya juga harus meliput banyak peristiwa di Sumbawa. Berita-berita yang sudah saya ketik, diedit lagi untuk kemudian saya layout sendiri, sebelum saya print dan bawa ke percetakan.

Setiap akhir pekan saya kembali ke Mataram untuk menengok anak istri di sana. Begitu seterusnya selama hampir setengah tahun hingga Februari 2000. Koran yang terbit harian itu laku sekali. Tidak ada yang tersisa setiap edisi. Bahkan sering dicetak ulang sampai tiga kali. Itu juga masih banyak masyarakat yang ingin membeli. Saya akhirnya menempel koran itu di jendela kantor. Supaya bisa dibaca oleh masyarakat Sumbawa yang minat bacanya sangat luar biasa.

Ketika itu memang ada momentum luar biasa yang sedang terjadi di Sumbawa. Ada peristiwa pergantian kepemimpinan daerah. Juga di tingkat provinsi, ada riak politik juga keamanan. Saat itu, NTB punya gubernur dari Bima, Drs H Harun Al-Rasyid. Puncaknya, terjadi kerusuhan massa di Mataram pada Januari 2000.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Riak politik lokal di Sumbawa, menolak H Abdul Latief Madjid menjadi calon Bupati. Pemilihan masih dilakukan oleh DPRD. Ketua DPRD saat itu, H Muhammad Amin, yang kelak menjadi Wakil Gubernur NTB. Nurdin Ranggabarani, politisi Partai Persatuan Pebamgunan (PPP) saat itu adalah Wakil Ketua DPRD Sumbawa. Yunior saya di Unram, juga mantan wartawan.

Riak ini levelnya meningkat menjadi gejolak, karena sejumlah tokoh inelektual ikutan turun gunung. Sebut saja salah satunya adalah Dr Sanapiah Faesal, dosen UIN Malang. Itu hanya salah satu tokoh. Lainnya banyak. Hingga terjadi peristiwa berdarah di rumah dinas Wakil Ketua DPRD saat itu. Dr Sanapiah dibacok. Untung masih selamat dan dirawat di RSUD Sumbawa.

Kami dipercaya oleh Dr Sanapiah. Saat dirawat di RSUD Sumbawa, kamilah yang menjaganya. Ini unik memang. Karena begitu sulitnya membedakan mana kawan mana lawan. Maka yang paling aman, adalah kami. Akibat peristiwa ini, lahirlah sebuah buku: Bandit Politik Naik Tahta.

Buku Bandit Politik Naik Tahta

Siapa bandit yang naik tahta? Tergambar semua dalam buku yang ditulis Dr Sanapiah. Ia jauh-jauh datang dari Malang karena ingin ikut berkontribusi bagi masa depan daerahnya. Hampir mati dibunuh pula. Buku ini masih dapat dipesan online di Bukalapak maupun di Tokopedia.

Sejarah itu dicatat dengan teliti oleh Dr Sanapiah. Heri Suparman pun ikut menulis dalam buku itu. Kisahnya adalah tentang kami. Tentang peristiwa itu. Tentang gejolak politik lokal, tentang pergantian kepala daerah. (khairudin m.ali/bersambung)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SEBELUM benar-benar lupa, saya mau menulis ini: Gempa Lombok. Sepekan lagi, itu empat tahun lalu. Tetapi trauma saya (ternyata) belum juga hilang. Sudah pukul...

CATATAN KHAS KMA

INI bukan tentang wong cilik, jualan partai saat dekat Pemilu. Ini benar-benar tentang joki, penunggang kuda yang umurnya masih sangat-sangat belia. Masih duduk di...

CATATAN KHAS KMA

SETELAH melewati Rumah Sakit Kabupaten Bima, jalanan macet total. Saya tidak yakin ada gendang Beleq yang lewat seperti di Lombok. Tidak biasanya di Bima...