Mengapa setiap Ramadan suasana terlihat ramai, jalanan padat kendaraan, dan kompleks pasar dijubeli warga atau umat Islam? Pertanyaan itu kerap muncul melihat dinamika Ramadan. Mobilitas yang semakin meningkatkan menyebabkan warga terbelit kepadatan aktivitas. Hanya saja, ada yang perlu dicermati. Kesemarakan suasana di tempat umunm dan jalanan itu berbanding terbalik dengan negatig sedangkan media untuk tabungan akhirat kerap terlupakan.
Manusia kerap lalai dari hal-hal yang menjadi dasar keberadaanya di dunia. Padahal, dalam konteks Islam, Allah sudah menyatakan bahwa manusia dan jin itu diciptakan hanya untuk menyembah. Mengabaikan pesan agama seperti itu jelas merupakan sikap kesombongan yang harus dijauhi. Laju kehidupan sudah lama dikuatirkan bisa menggiring manusia dalam arus negatif yang menjauhkannya dari agama. Di situlah pentingnya saling mengingatkan antarsesama dalam hal kebenaran dan kesabaran.
Para ustaz mengingatkan bahwa sikap sombong adalah dosa pertama dari penyakit hati yang sangat berpotensi melekat pada manusia, sekalipun level ulama. Bahkan, mereka yang shalat, namun tidak berdoa kepada Allah setelahnya, dicap sombong karena tidak mengharapkan apa-apa terhadap kebutuhannya. Artinya, manusia mesti selalu menyandarkan dan mendekatkan diri kepada Allah. Sang Pemilik dan Sutradara Agung Kehidupan ini.
Nah, Ramadan yang terus bergulir di Dana Mbojo, menyusul beragam dinamika yang menyertainya, jangan sampai membutakan ketajaman pikiran kita untuk membaca fenomena sosial yang menjauh dari orbit Ilahi. Mari kita mengingatkan saudara-saudara yang lain agar memaksimalkan amal shaleh sebagai ekspresi ketundukan terhadap perintah Allah. Mereka yang enggan beribadah, merupakan pribadi sombong yang tidak lagi memahami hakikatnya sebagai khalifah.
Seiring waktu bergulir, mari merefleksi diri, menjauh dari sifat sombong yang mudah menghinggapi manusia. Ya, sifat tercela yang mudah menghinggapi hati kita semua. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.