Bima, Bimakini.com.- Paradigma birokrasi aparatur dilayani dan masyarakat melayani masih terjadi di Pemerintahan Daerah (Pemda) Bima. Cara seperti itu mestinya sudah tidak terjadi lagi, namun seperti itu kenyataannya.
Hal itu menurut Hairul Anas, dari Solidaritas untuk Demokrasi (Solud) Bima, tergambar dari hasil pembukaan pengaduan pelayanan public Desember 2012 lalu. Posko pengaduan public dibuka di 10 desa pada delapan kecamatan di Kabupaten Bima.
Selama pembukaan posko, kata Anas, banyak masyarakat yang belum memahami ruang pengaduan. Ketika mereka menghadapi masalah, maka tidak tahu harus menyampaikan kemana. “Karena masyarakat tidak tahu mengadu kemana, maka pelaksanaannya pun kurang maksimal,” ungkapnya di Hotel Marina saat Seminar dan Lokakarya tentang Undang-undang 25/2009 tantang Pelayanan Publik, Rabu (7/2/2013).
Masalah yang paling banyak diadukan, kata Anas, adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dari pusat. Mereka mengadukan adanya pemotongan, hal itu juga terjadi karena masyarakat tidak memehami semua mekanisme di delamnya.
Hal lainnya, beras miskin (raskin) diang dinilai kebijakan politis. Jamkesmas yang masih ada pungutan. Ada petugas yang dijumpai memungut dari masyarakat pemegang Jamkesmas, setelah diadvokasi, yang bersangkutan mengembalikannya. “Oknum tersebut pun juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” ujarnya.
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pemberian Makanan Tambahan (PMT) AS, PMT Posyandu. PMT Posyandu yang seharusnya Rp100 ribu justri dipotong, bahkan sampai 50 persen.
Kendala yang dihadapo Solud ketika membuka Posko Pengaduan, kata Anas, tidak ada kepastian jangka waktu proses pelayanan. Tidak ada kepastian biaya, tidak jelasnya syarat-syarat yang diperlukan dalam pelayanan. “Pemberi pelayanan kurang professional dan tidak jelasnya penyelesaian pengaduan secara internal birokrasi,” ungkapnya. (BE.16)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.